Konflik Indonesia-Malaysia dalam sejarahnya
pernah bereskalasi menjadi konfrontasi terbuka pada periode 1963-1966.
"Ganyang Malaysia" benar-benar direalisasikan Presiden Sukarno sebagai
wujud ketegasan politik Luar Negeri Indonesia terhadap
Malaysia yang melanggar pelanggaran persetujuan Manila (Manila
Agreement). Pasca Orde Lama (ORLA) collapse tahun 1967, praktis
kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Malaysia berubah 180 derajat.
Indonesia tidak setegas ketika rezim Orde Lama berkuasa. Indikatornya,
sekalipun Malaysia berulangkali memprovokasi konflik terlebih dahulu,
Indonesia tidak berani tegas terhadap Malaysia sebagaimana ketegasan
Presiden Sukarno ketika mengetahui Malaysia menghianati kesepakatan
bersama. Hal ini dapat dilihat pada kasus sengketa panjang
Indonesia-Malaysia dalam memperebutkan pulau Sipadan-Ligitan yang
berakhir pada jatuhnya dua pulau potensial tersebut ke pangkuan Malaysia
(1979-2002), klaim Malaysia terhadap Ambang Batas Laut (ambalat) di
sebelah timur Perairan Kalimantan tahun 2005 dan 2009, hingga klaim
Malaysia terhadap batas maritim di Perairan Tanjung Berakit, Kepulauan
Riau, Bintan tahun 2010. Praktis, Indonesia tidak berani mengambil
tindakan asertif dalam menanggapi provokasi-provokasi Malaysia. Tidaklah
berlebihan jika kemudian masyarakat menganggap pemerintah Indonesia
inferior terhadap Malaysia. Ketidaktegasan pemerintah Indonesia dalam
dinamikanya memunculkan pertanyaan spekulatif; mengapa pasca ORLA
Indonesia terkesan tidak berani tegas terhadap Malaysia secara
sistematis faktor riil ketidaktegasan pemerintah Indonesia ketika
Indonesia terlibat konflik dengan Malaysia ditinjau dari perspektif
strategis.
Penulis: Moh. Zahirul Alim.
Penerbit: CV. Aswaja Pressindo.
Harga: Rp 49.000,-
Penulis: Moh. Zahirul Alim.
Penerbit: CV. Aswaja Pressindo.
Harga: Rp 49.000,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar