Halaman

Jumat, 15 Maret 2013

Konflik Indonesia-Malaysia dalam sejarahnya pernah bereskalasi menjadi konfrontasi terbuka pada periode 1963-1966. "Ganyang Malaysia" benar-benar direalisasikan Presiden Sukarno sebagai wujud ketegasan politik Luar Negeri Indonesia terhadap Malaysia yang melanggar pelanggaran persetujuan Manila (Manila Agreement). Pasca Orde Lama (ORLA) collapse tahun 1967, praktis kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Malaysia berubah 180 derajat. Indonesia tidak setegas ketika rezim Orde Lama berkuasa. Indikatornya, sekalipun Malaysia berulangkali memprovokasi konflik terlebih dahulu, Indonesia tidak berani tegas terhadap Malaysia sebagaimana ketegasan Presiden Sukarno ketika mengetahui Malaysia menghianati kesepakatan bersama. Hal ini dapat dilihat pada kasus sengketa panjang Indonesia-Malaysia dalam memperebutkan pulau Sipadan-Ligitan yang berakhir pada jatuhnya dua pulau potensial tersebut ke pangkuan Malaysia (1979-2002), klaim Malaysia terhadap Ambang Batas Laut (ambalat) di sebelah timur Perairan Kalimantan tahun 2005 dan 2009, hingga klaim Malaysia terhadap batas maritim di Perairan Tanjung Berakit, Kepulauan Riau, Bintan tahun 2010. Praktis, Indonesia tidak berani mengambil tindakan asertif dalam menanggapi provokasi-provokasi Malaysia. Tidaklah berlebihan jika kemudian masyarakat menganggap pemerintah Indonesia inferior terhadap Malaysia. Ketidaktegasan pemerintah Indonesia dalam dinamikanya memunculkan pertanyaan spekulatif; mengapa pasca ORLA Indonesia terkesan tidak berani tegas terhadap Malaysia secara sistematis faktor riil ketidaktegasan pemerintah Indonesia ketika Indonesia terlibat konflik dengan Malaysia ditinjau dari perspektif strategis.

Penulis: Moh. Zahirul Alim.
Penerbit: CV. Aswaja Pressindo.
Harga: Rp 49.000,-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar